Sabtu, 29 Maret 2008

Aku juga ingin jadi pemabok!

Jelas sekali dari balik jendela ini sosok orang itu. Dia pemabok! Tidak banyak yang tahu itu. Aku saja baru tahu dari Ustadz Amri. Ustadz ini membisikkan di telingaku tentang sosok orang itu, “Tuh liat si pemabok.”

Sejak itu aku pasti curi-curi pandang dari balik jendela ini setiap sosok itu melintas. Pernah kudapati ia melintas di tengah gelap larut malam. Kebetulan aku terbangun dan mendengar gesekan langkah-langkah seseorang. Diam-diam kuintip, ternyata sosok orang itu. Hmm, dasar pemabok, pikirku.

Tapi terus terang aku penasaran. Sebagai seorang pemabok, sosok orang ini pendiam. Pemabok lain kalau melintas, jangankan tengah malam, masih sore juga sudah ribut minta ampun. Sosok orang ini juga sopan. Keliwat sopan malah. Beda sekali dengan pemabok profesional, jangan harap tahu sopan santun. Kerjanya mengajak berantam orang sekampung. Pernah, saking jengkelnya, beberapa anak muda meladeni berantam seorang pemabok profesional. Orang itu ditelanjangi sampai tinggal celana kolor dan disuruh nyemplung ke got besar. Biar dia sadar, kata anak-anak muda itu.

-----

Tadi siang ketika ke mesjid untuk shalat Jumat, aku buru-buru berharap dapat onta. Ternyata aku keduluan. Sosok orang itu sudah duluan. Ia sudah duduk di shaf paling depan terlihat khusyuk membaca lembaran Al Quran. Jujur saja, rasa ingin tahuku tentang sosok orang itu semakin tinggi. Bahkan sudah di puncak. Aku mulai menerka-nerka, mungkin sosok orang itu dalam proses pertobatan. Selain mabok, dosa apa lagi gerangan yang sudah diperbuat sosok itu?

-----

Sepulang shalat Jumat, dari balik jendela ini aku melihat Ustadz Amri melintas. Sebenarnya aku menunggu-nunggu sosok orang itu melintas lagi. Rencananya, akan aku sapa dan melampiaskan rasa ingin tahuku dengan bertanya langsung kepadanya. Rupanya Ustadz Amri melintas duluan.

“Assalaamu Alaikum. Mampir Ustadz…..”

“Walaikum salaam warahmatullah……”

“Ustadz, pemabok itu sudah pulang?” tanyaku sambil melongok kiri kanan menjaga-jaga jangan sampai sosok orang itu melintas.

“Belum tuh. Masih di mesjid.”

“Ustadz, aku mau tanya. Apa betul orang itu pemabok?”

“Wah, jangan tanya deh. Pemabok kelas berat. Kamu cari deh pemabok yang lain, dia itu tingkatannya pasti masih jauh lebih berat.”

“Masak sih? Tapi kok aneh? Dia tidak seperti pemabok lainnya. Kelihatannya dia orangnya sopan. Suaranya saja jarang kedengaran. Sudah begitu, dia shalatnya kelihatan khusyuk sekali, ustadz. Ngajinya juga bagus. Apa dia dalam proses bertobat?”

“Wah, kalo yang namanya bertobat sih, ustadz juga setiap saat dalam proses bertobat. Bahkan kamu pun mestinya begitu. Mana ada dalam setiap detik hidup kita ini di mana kita dijamin bebas dari perbuatan dosa?”

“Betul juga, ustadz. Tapi kok bisa pemabok tapi kelihatan betah di mesjid?”

“Itu dia. Dia itu sebenarnya mabok Allah. Pokoknya setiap saat tidak pernah lepas dari berzikir kepada Allah. Kalau kita-kita ini masih bisa terdistorsi, dia itu lurus, terus dan terus hidupnya hanya didedikasikan untuk Allah.”

Hmmm. Rupanya itu maksud Ustadz Amri. Rupanya selama ini aku terjebak oleh prasangkaku sendiri. Rupanya sosok orang itu jenis pemabok yang lain. Rupanya dia pemabok akhirat.

-----

Dari balik jendela ini terlihat lagi sosok orang itu melintas. Seperti biasa, kelihatannya sudah seperti pakaian dinasnya, atasannya adalah baju koko putih dan bawahannya adalah sarung putih bermotif garis. Kopiahnya adalah kopiah haji. Serba putih.

Sekarang, setelah tahu bahwa sosok orang itu adalah pemabok, pemabok Allah, sudut pandangku jadi berubah drastis. Jantungku berdebar ketika ia melintas. Entah mengapa, hatiku berkata bahwa aku harus cari muka kepada orang ini. Rasanya aku tahu mengapa. Karena ia pemabok Allah. Ia tidak bau alkohol, tapi bau surga (paling tidak, baunya enak bila ia melintas). Aku tahu aku harus dekat-dekat dengan orang ini. Moga-moga aku bisa seperti dia, jadi pemabok juga. Pemabok Allah!

Rabu, 26 Maret 2008

Belum pernah aku bersumpah, tapi kali ini, aku bersumpah!

Langit agak mendung di balik jendelaku siang ini. Sejak pagi pandanganku terhalang oleh turunnya hujan. Belakangan ini cuaca memang tidak tertebak. Pikirku bahwa musim hujan sudah berlalu. Buktinya, sudah hampir sebulan hawa panas oleh matahari terik lebih mendominasi. Tapi kenyataannya cuaca memang tidak terpola lagi. Sudah beberapa hari ini hujan bisa turun tiba-tiba, seakan kompak, panas juga bisa datang tiba-tiba.

Seperti saat aku memandang ke luar jendelaku saat ini. Hujan baru saja berhenti.

Rupanya yang tampak di pemandanganku adalah seorang gadis belia berumur sekitar 11. Namanya Puji. Rambutnya panjang sebahu terurai tidak keruan. Pakaiannya baju terusan yang lazim dipakai anak seusianya dengan motif – tidak jelas bagiku – seperti batik.

Aku bisa melihat Puji sering lalu lalang di sekitar jendelaku. Itu rutin. Ciri khasnya Puji, dia selalu menggendong karung lusuh.

Karung itu memang ada tujuannya. Puji adalah gadis kecil pemulung. Karung itu senjatanya. Di situ dia menampung hasil pungutannya. Kelihatannya dia spesialis pemulung gelas bekas air kemasan.

Hari ini Puji kelihatan gembira. Karungnya gemuk. Rupanya 4 hari belakangan yang merupakan libur berurutan adalah hari bonus bagi Puji.

Asal anda tahu, daerah operasi Puji adalah kawasan wisata pantai. Rupanya kecil-kecil begitu ia punya insting marketing yang cukup mumpuni. Kawasan wisata pantai dipilihnya karena di sini sudah jelas rame pengunjung pada akhir pekan atau hari-hari libur, dan bisa dipastikan mereka pasti banyak minum air apalagi kalau cuaca panas terik. Nah, untuk alasan kepraktisan, orang memang lebih banyak membawa air minum kemasan. Itu dia landasan berpikir Puji.

-----

Suatu hari Puji aku sapa ketika lewat di sekitar jendelaku.

“Ji, dapat banyak hari ini?”

“Wah, dapat banyak, Om! Soalnya lagi ada acara konser”, jawabnya bersemangat.


“Kalo gitu, kamu banyak uang, dong” gangguku.

“Syukur, Om. Hari ini bisa masuk lima belas ribu. Tapi ini juga langsung abis tiga belas ribu.” Jawabnya. Kelihatan dia sedikit kecewa tapi masih tetap semangat.

“Lho, kok bisa begitu?”

“Bayar utang obat, Om! Seminggu lalu adek kena demam, Puji disuruh ummi ngutang obat ke warung dekat rumah. Waktu itu ummi lagi nggak punya, soalnya ummi juga sakit nggak bisa nyuci ke rumah-rumah, trus dari abi belum ada kiriman uang dari Polewali. Kata abi, nyari kertas bekas sekarang agak susah soalnya masih sering turun hujan.”

Mungkin Puji sudah kebal hal-hal begitu. Mungkin itu makanan hariannya. Mungkin Puji kecil usia 11 kuat sekali. Tapi terus terang, aku tidak sekuat itu mendengar ceritanya…

Dalam hati aku kaget, kagum, terlebih lagi, gelisah! Masak Puji yang sekecil itu sudah harus nanggung utang. Utang untuk beli obat lagi.

…………..
…………..
…………..

“Ji, kamu sedih, dong? Duitnya tinggal dua ribu, kan?”

“Lho, kok sedih, Om? Puji kan masih dapat sisa dua ribu itu….Berarti, seperti diajarkan abi, Puji masih dikasih Allah rejeki. Kata abi, rejeki itu harus disyukuri biar kecil-kecil. Puji masih bagusan, Om. Kata abi, dulu waktu abi kecil sering-sering tidak makan. Puji masih beruntung, setiap hari masih bisa makan. Kalau ummi ada yang ngasih beras agak banyak, kadang Puji masih bisa nambah lagi setengah piring. Wah, pokoknya kalau bisa nambah itu, Puji rasanya syukur sekali kepada Allah, Om”

-----

Aku bingung. Di hari langit agak mendung begini, biasanya yang bikin kaget adalah suara petir. Tapi aku terbuka seperti telajang, kata-kata Puji bikin kaget lebih dahsyat daripada petir. Kata-kata Puji ini jelas sekali berkelas. Walaupun aku tahu, Puji bahkan tidak pernah terpikir bagaimana rasanya ‘berkelas sekolah’ itu.

Pemandangan di balik jendelaku ini hanya seorang gadis kecil usia 11. Tapi, entah ini nyata atau ilusi, gadis kecil usia 11, Puji, seperti guru besar yang mengajarkan aku hal yang besar juga.

Belum pernah aku bersumpah, tapi kali ini, aku bersumpah, pengalamanku menyapa Puji dari balik jendelaku hari ini, adalah pengalaman terindah! Itu saja.

Senin, 17 Maret 2008

Aku tahu kenapa Ibu Maemunah berseri-seri

Ini pertama kali aku memandang jauh ke luar jendelaku. Pandanganku jatuh ke sosok seorang ibu yang duduk tenang di bale-bale bawah pohon mangga tidak jauh dari posisi jendelaku. Di pahanya terbuka sebuah kitab. Sayup-sayup terdengar ibu itu membaca kitab. Suaranya pelan sekali. Aku berusaha mengarahkan telinga lebih fokus ke arahnya untuk mencuri dengar apa yang ia baca.

Itu Ibu Maemunah. Usianya dua kalinya usiaku. Ibu itu sekitar 65-an. Mukanya tampak ceria. Ternyata yang dibacanya masih sama dengan yang dibacanya selama tiga hari terakhir. Ternyata lagi, setiap membaca kitab itu, mukanya juga masih sama. Berseri-seri. Seperti penganten baru. Aku jadi senyum sendiri kalau bicara tentang muka berseri bagai penganten baru. Ini mengundang pertanyaan menggelitik, “Ada nggak sih orang yang tidak berseri-seri pada saat penganten baru? Kalau ada, kasian amat.”

Aku tahu kenapa Ibu Maemunah berseri-seri begitu. Dari balik jendela ini, aku konsisten memperhatikan sudah tiga hari.

Satu, beliau berseri-seri karena kitab yang beliau baca adalah Al-Quran. Kata beliau suatu hari kepadaku,
”Dek, sejak ibu kecil ada dua suara yang beradu indah ketika pagi menjelang. Satu, suara burung berkicau. Ini indah sekali. Tidak ada nada fals-nya. Nadanya teratur dan bunyinya ikhlas. Dua, suara orang-orang pada mengaji sepulang dari surau untuk shalat subuh. Ini juga tidak kalah indah. Juga tidak kalah ikhlas. Dua suara ini, sudah jadi latar belakang suasana pagi ibu sejak kecil.”

Dua, beliau berseri-seri karena sejak tiga hari lalu, mata beliau yang dulu nyaris buta habis karena katarak, sekarang bersih kembali. Beliau baru habis operasi katarak. Makanya tiga hari belakangan jadi seperti sesuatu yang melegakan sekaligus mengasyikkan bagi Ibu Maemunah.

-----

Dari balik jendela ini aku bisa melihat Ibu Maemunah dengan jelas. Dari balik jendela ini aku juga bisa merasakan bagaimana melegakannya bisa membaca Al-Quran kembali dengan jelas dan terang tanpa hambatan.

Harusnya bukan baru sekarang memang. Tapi kenyataannya, baru sekarang aku jadi betul-betul terpelajar, betapa berharganya penglihatan itu. Terlebih lagi bila penglihatan itu mengantar pada keutamaan. Seperti Ibu Maemunah yang ‘mendapatkan kembali’ penglihatannya dan tetap konsisten dengannya memburu keutamaan melalui baca Al-Quran.

Di hari ke-3 sejak Ibu Maemunah kembali baca Al-Quran di bale-bale di bawah pohon mangga tidak jauh dari posisi jendelaku, Ibu Maemunah tetap berseri-seri. Bukan hanya itu. Yang membuatku takjub dengan pemandangan itu, matanya seakan memancarkan kegirangan berkelanjutan. Perasaanku berkata bahwa ia dapat hikmah baru dari apa yang ia baca hari ini. Padahal aku tahu, Ibu Maemunah itu entah sudah berapa kali mengkhatamkan baca Al-Quran sejak kecil hingga usia setua ini. Ayat yang dibaca itu-itu juga. Jumlah surahnya juga masih sama, dari jaman ia kecil , bahkan dari jaman Rasulullah, hingga ia sudah setua ini. Tapi dengan semangat belajarnya, kelihatannya ia tidak pernah henti-henti mendapatkan hikmah dari ayat atau surah yang ia baca.

Aku jadi terkesima. Kata hatiku, Ibu Maemunah ini seperti orang yang sangat moderen dan maju pemikirannya. Soalnya, orang moderen dan maju itu tidak pernah terperangkap oleh rutinitas. Yang dikerjakan bisa itu-itu saja. Tapi selalu saja dengan pendekatan yang positif, ada hal baru yang terungkap di belakangnya.

Itulah Ibu Maemunah. Begitu kiranya yang tertangkap tentang sosok ini dari balik jendelaku.