Rabu, 26 Maret 2008

Belum pernah aku bersumpah, tapi kali ini, aku bersumpah!

Langit agak mendung di balik jendelaku siang ini. Sejak pagi pandanganku terhalang oleh turunnya hujan. Belakangan ini cuaca memang tidak tertebak. Pikirku bahwa musim hujan sudah berlalu. Buktinya, sudah hampir sebulan hawa panas oleh matahari terik lebih mendominasi. Tapi kenyataannya cuaca memang tidak terpola lagi. Sudah beberapa hari ini hujan bisa turun tiba-tiba, seakan kompak, panas juga bisa datang tiba-tiba.

Seperti saat aku memandang ke luar jendelaku saat ini. Hujan baru saja berhenti.

Rupanya yang tampak di pemandanganku adalah seorang gadis belia berumur sekitar 11. Namanya Puji. Rambutnya panjang sebahu terurai tidak keruan. Pakaiannya baju terusan yang lazim dipakai anak seusianya dengan motif – tidak jelas bagiku – seperti batik.

Aku bisa melihat Puji sering lalu lalang di sekitar jendelaku. Itu rutin. Ciri khasnya Puji, dia selalu menggendong karung lusuh.

Karung itu memang ada tujuannya. Puji adalah gadis kecil pemulung. Karung itu senjatanya. Di situ dia menampung hasil pungutannya. Kelihatannya dia spesialis pemulung gelas bekas air kemasan.

Hari ini Puji kelihatan gembira. Karungnya gemuk. Rupanya 4 hari belakangan yang merupakan libur berurutan adalah hari bonus bagi Puji.

Asal anda tahu, daerah operasi Puji adalah kawasan wisata pantai. Rupanya kecil-kecil begitu ia punya insting marketing yang cukup mumpuni. Kawasan wisata pantai dipilihnya karena di sini sudah jelas rame pengunjung pada akhir pekan atau hari-hari libur, dan bisa dipastikan mereka pasti banyak minum air apalagi kalau cuaca panas terik. Nah, untuk alasan kepraktisan, orang memang lebih banyak membawa air minum kemasan. Itu dia landasan berpikir Puji.

-----

Suatu hari Puji aku sapa ketika lewat di sekitar jendelaku.

“Ji, dapat banyak hari ini?”

“Wah, dapat banyak, Om! Soalnya lagi ada acara konser”, jawabnya bersemangat.


“Kalo gitu, kamu banyak uang, dong” gangguku.

“Syukur, Om. Hari ini bisa masuk lima belas ribu. Tapi ini juga langsung abis tiga belas ribu.” Jawabnya. Kelihatan dia sedikit kecewa tapi masih tetap semangat.

“Lho, kok bisa begitu?”

“Bayar utang obat, Om! Seminggu lalu adek kena demam, Puji disuruh ummi ngutang obat ke warung dekat rumah. Waktu itu ummi lagi nggak punya, soalnya ummi juga sakit nggak bisa nyuci ke rumah-rumah, trus dari abi belum ada kiriman uang dari Polewali. Kata abi, nyari kertas bekas sekarang agak susah soalnya masih sering turun hujan.”

Mungkin Puji sudah kebal hal-hal begitu. Mungkin itu makanan hariannya. Mungkin Puji kecil usia 11 kuat sekali. Tapi terus terang, aku tidak sekuat itu mendengar ceritanya…

Dalam hati aku kaget, kagum, terlebih lagi, gelisah! Masak Puji yang sekecil itu sudah harus nanggung utang. Utang untuk beli obat lagi.

…………..
…………..
…………..

“Ji, kamu sedih, dong? Duitnya tinggal dua ribu, kan?”

“Lho, kok sedih, Om? Puji kan masih dapat sisa dua ribu itu….Berarti, seperti diajarkan abi, Puji masih dikasih Allah rejeki. Kata abi, rejeki itu harus disyukuri biar kecil-kecil. Puji masih bagusan, Om. Kata abi, dulu waktu abi kecil sering-sering tidak makan. Puji masih beruntung, setiap hari masih bisa makan. Kalau ummi ada yang ngasih beras agak banyak, kadang Puji masih bisa nambah lagi setengah piring. Wah, pokoknya kalau bisa nambah itu, Puji rasanya syukur sekali kepada Allah, Om”

-----

Aku bingung. Di hari langit agak mendung begini, biasanya yang bikin kaget adalah suara petir. Tapi aku terbuka seperti telajang, kata-kata Puji bikin kaget lebih dahsyat daripada petir. Kata-kata Puji ini jelas sekali berkelas. Walaupun aku tahu, Puji bahkan tidak pernah terpikir bagaimana rasanya ‘berkelas sekolah’ itu.

Pemandangan di balik jendelaku ini hanya seorang gadis kecil usia 11. Tapi, entah ini nyata atau ilusi, gadis kecil usia 11, Puji, seperti guru besar yang mengajarkan aku hal yang besar juga.

Belum pernah aku bersumpah, tapi kali ini, aku bersumpah, pengalamanku menyapa Puji dari balik jendelaku hari ini, adalah pengalaman terindah! Itu saja.

Tidak ada komentar: