Senin, 17 Maret 2008

Aku tahu kenapa Ibu Maemunah berseri-seri

Ini pertama kali aku memandang jauh ke luar jendelaku. Pandanganku jatuh ke sosok seorang ibu yang duduk tenang di bale-bale bawah pohon mangga tidak jauh dari posisi jendelaku. Di pahanya terbuka sebuah kitab. Sayup-sayup terdengar ibu itu membaca kitab. Suaranya pelan sekali. Aku berusaha mengarahkan telinga lebih fokus ke arahnya untuk mencuri dengar apa yang ia baca.

Itu Ibu Maemunah. Usianya dua kalinya usiaku. Ibu itu sekitar 65-an. Mukanya tampak ceria. Ternyata yang dibacanya masih sama dengan yang dibacanya selama tiga hari terakhir. Ternyata lagi, setiap membaca kitab itu, mukanya juga masih sama. Berseri-seri. Seperti penganten baru. Aku jadi senyum sendiri kalau bicara tentang muka berseri bagai penganten baru. Ini mengundang pertanyaan menggelitik, “Ada nggak sih orang yang tidak berseri-seri pada saat penganten baru? Kalau ada, kasian amat.”

Aku tahu kenapa Ibu Maemunah berseri-seri begitu. Dari balik jendela ini, aku konsisten memperhatikan sudah tiga hari.

Satu, beliau berseri-seri karena kitab yang beliau baca adalah Al-Quran. Kata beliau suatu hari kepadaku,
”Dek, sejak ibu kecil ada dua suara yang beradu indah ketika pagi menjelang. Satu, suara burung berkicau. Ini indah sekali. Tidak ada nada fals-nya. Nadanya teratur dan bunyinya ikhlas. Dua, suara orang-orang pada mengaji sepulang dari surau untuk shalat subuh. Ini juga tidak kalah indah. Juga tidak kalah ikhlas. Dua suara ini, sudah jadi latar belakang suasana pagi ibu sejak kecil.”

Dua, beliau berseri-seri karena sejak tiga hari lalu, mata beliau yang dulu nyaris buta habis karena katarak, sekarang bersih kembali. Beliau baru habis operasi katarak. Makanya tiga hari belakangan jadi seperti sesuatu yang melegakan sekaligus mengasyikkan bagi Ibu Maemunah.

-----

Dari balik jendela ini aku bisa melihat Ibu Maemunah dengan jelas. Dari balik jendela ini aku juga bisa merasakan bagaimana melegakannya bisa membaca Al-Quran kembali dengan jelas dan terang tanpa hambatan.

Harusnya bukan baru sekarang memang. Tapi kenyataannya, baru sekarang aku jadi betul-betul terpelajar, betapa berharganya penglihatan itu. Terlebih lagi bila penglihatan itu mengantar pada keutamaan. Seperti Ibu Maemunah yang ‘mendapatkan kembali’ penglihatannya dan tetap konsisten dengannya memburu keutamaan melalui baca Al-Quran.

Di hari ke-3 sejak Ibu Maemunah kembali baca Al-Quran di bale-bale di bawah pohon mangga tidak jauh dari posisi jendelaku, Ibu Maemunah tetap berseri-seri. Bukan hanya itu. Yang membuatku takjub dengan pemandangan itu, matanya seakan memancarkan kegirangan berkelanjutan. Perasaanku berkata bahwa ia dapat hikmah baru dari apa yang ia baca hari ini. Padahal aku tahu, Ibu Maemunah itu entah sudah berapa kali mengkhatamkan baca Al-Quran sejak kecil hingga usia setua ini. Ayat yang dibaca itu-itu juga. Jumlah surahnya juga masih sama, dari jaman ia kecil , bahkan dari jaman Rasulullah, hingga ia sudah setua ini. Tapi dengan semangat belajarnya, kelihatannya ia tidak pernah henti-henti mendapatkan hikmah dari ayat atau surah yang ia baca.

Aku jadi terkesima. Kata hatiku, Ibu Maemunah ini seperti orang yang sangat moderen dan maju pemikirannya. Soalnya, orang moderen dan maju itu tidak pernah terperangkap oleh rutinitas. Yang dikerjakan bisa itu-itu saja. Tapi selalu saja dengan pendekatan yang positif, ada hal baru yang terungkap di belakangnya.

Itulah Ibu Maemunah. Begitu kiranya yang tertangkap tentang sosok ini dari balik jendelaku.

Tidak ada komentar: